Ijen, Sebongkah Asa dan Sebingkai Cerita

Udara dingin menyeruak ketika ku buka pintu kamarku. Suara kerik jangkrik terdengar jelas di telinga. Tak bisa ku lihat dengan jelas bagaimana keadaan di sekitar penginapanku. Pandangan mata begitu terbatas, sorot lampu dari beranda kamar ku hanya mampu menyinari sampai beberapa meter saja. Pukul satu dini hari saat itu, langit masih gelap, terangnya bulan dan kerlipnya bintang memberikan sedikit sinarnya untuk bumi. Ku rapatkan jaket, ku gosok - gosokkan kedua telapak tangan, berharap sedikit kehangatan. Wajah - wajah gusar terlihat pada teman - teman seperjalanan, aku pun demikian. Seharusnya, kendaraan yang kami sewa sudah tiba sejak tiga puluh menit yang lalu, tapi mengapa sampai sekarang tak datang juga ?. Kami mencoba menghubungi pihak jasa sewa kendaraan, tak bisa !. Kami pun menunggu, syukurlah, segera kami mendapat informasi, kendaraan yang seharusnya menjemput kami mengalami kecelakaan di Denpasar, Bali. Kendaraan itu akan bertolak menuju Banyuwangi, menjemput kami. Tapi, sungguh malang tak dapat dihindari. Oleh sebab itu, kami harus bersabar menunggu lagi untuk dijemput kendaraan pengganti.

Kalau saja dini hari tadi aku bisa berangkat, mungkin aku akan beruntung melihat si "Api Biru" dan akan ku jemput Kejora dari peraduannya. Akan kusaksikan lamat - lamat langit berganti warna dari hitam kelam kemudian keluar semburat merah, kuning bercampur oranye, sulur menyulur menciptakan gradasi alami, lalu perlahan mentari menyembul dari timur, sedikit demi sedikit memberikan sinarnya. Karena halangan tadi, tak bisa kudapati semua itu. Beberapa kemungkinan bisa terjadi dalam perjalanan ini. Tak ada perjalanan yang sempurna, seperti hidup perjalanan pun sama. Kita harus bersiap dengan segala resikonya. Ketika rencana semula tak berjalan, mainkan rencana berikutnya. Tetap on track, begitulah singkatnya !

Lepas subuh, kami baru berangkat. Dua mini bus membawa kami menuju Ijen, sebuah gunung berkawah hijau tosca yang memesona mata, Ijen juga punya "Api Biru" yang di dunia ini hanya ada dua, di Tanah Air kita dan Islandia. Last but not least, meskipun terlambat menjemput "Api Biru" dan matahari terbit di sana, masih bisa kami menikmati pesona kawah biru tosca nya, tak hanya itu, Ijen identik dengan penambang belerangnya, sungguh sebuah keunikan tersendiri.

Sembilan puluh menit perjalanan, sampailah kami di Paltuding. Inilah pemberhentian terakhir semua jenis kendaraan. Dari sini, semua hanya bisa dilakukan dengan langkah kaki. Di Paltuding terdapat semacam rumah singgah, ku lihat hanya sebuah saja jumlahnya, tempat ini disewakan pihak perhutani untuk wisatawan yang mengunjungi Ijen. Selain itu, ada camping ground tak jauh dari rumah singgah tadi.

Dari Paltuding, aku harus menempuh jarak kurang lebih tiga setengah kilometer. Informasi itu kudapatkan dari seorang penambang belerang, bapak penambang itu ramah sekali, lima puluh tahun lebih usianya. Ku perkirakan paling lambat dua jam aku bisa tiba di puncaknya. Itu artinya pukul delapan tiga puluh menit. Sambil berjalan, bapak penambang tadi mengajak kami bercakap. Dari sini, banyak sekali yang kami dapat. Penambang belerang Ijen dalam satu hari bisa melalui medan ini sampai 3 - 4 rit, itu artinya satu rit sama dengan tujuh kilometer naik turun gunung. Berangkat ke puncak Ijen, mereka tidak berkosong tangan saja, dua keranjang bambu dibawa dalam satu pikulan. Keranjang itu belum terisi belerang, tapi carrier bisa mengisinya. Para penambang belerang bisa sekaligus menjadi porter. Setidaknya hal tersebut dapat menambah penghasilan mereka. Keranjang yang kosong ketika naik bisa dimanfaatkan untuk hal lainnya. Dalam sekali isi pikulan para penambang tadi bisa memuat 70 - 80 kg bongkahan belerang. Itu berat sekali, ditambah lagi bagaimana terjalnya medan menuju ke sana. Rupiah yang mereka dapatkan tak seberapa dibandingkan dengan resikonya. Delapan ratus rupiah per kilogramnya, sebesar itulah rupiah untuk sekilo belerang. Kalikan saja jumlahnya, jika kau ingin tahu berapa rupiah yang akan mereka terima. Tak seberapa memang dibandingkan dengan segala resiko di depan mata. Tapi, dari sinilah aku berkaca dari mereka. Ini bukan perkara suka atau tidak suka, ini adalah pilihan yang telah ditetapkan. Ini jalan hidup mereka pilih, sebisa mungkin pilihan ini dijalankan sebaik  - baiknya, totalitas penuh dan dengan keteguhan hati melakukan sungguh - sungguh.


Semakin naik jalan yang kami tempuh, tikungan curam, belokan terjal sudah lazim kami temui. Semakin tinggi, semakin tak mudah medannya. Hal ini, yang membuatku selalu merindukan suasana gunung. Aku mencintai gunung lebih dari pantai. Bagi ku, perjalanan menuju puncak sama halnya dengan kehidupan. Selalu berproses, ketika kau lelah, beristirahatlah !, ketika kau jatuh, segeralah bangkit !, dan ketika kau tak tau arah, lihatlah Tuhan menghadiahi mu teman - teman seperjalanan yang akan selalu ada di sisi mu. Bertanyalah pada mereka, berbagilah dengan mereka. Tak akan ada yang meninggalkan satu dengan yang lainnya. Dan, ketika semua serangkaian proses telah dilalui, puncak itu mempermanis semua rangkaiannya.

Dua puluh menit lebih lambat dari waktu yang ku perkirakan tadi, tiba juga aku di puncak Ijen. Terhampar kawah biru tosca dengan kepul asapnya. Lukisan alam dari sang Pencipta yang membelalakkan mata. Tanah yang ku pijak pun indah warnanya, coklat kekuningan menyegarkan mata. Inilah Indonesia dengan ragam pesonanya. Tanah Air ku tercinta yang punya banyak surga di dalamnya.


Asap tebal semakin mengepul, bau belerang makin menyesakkan dada. Sebelum pukul sembilan pagi adalah wakti terbaik untuk menikmati semua keindahan di puncak Ijen. Jika lewat dari waktu itu, asap dari kawah biru toska akan semakin tebal dan mengaburkan pandangan mata, warna biru toska akan samar terlihat jadinya. Bau belerang pun akan makin menyengat aromanya. Pukul sembilan dua puluh, aku turun. Turun dari puncak bukan tanpa masalah, beberapa kali aku terjatuh,  tergelincir, langkah ku tak sempurna, mungkin aku lelah, sejak berangkat dari kota kita aku belum bisa pejamkan mata, dua hari aku terjaga.

Dengan menempuh jalur dan jarak yang sama ketika naik tadi, aku kembali sampai di Paltuding. Di sepanjang perjalanan turun tadi, banyak kutemui teman - teman lainnya yangmempunyai tujuan yang sama dengan kami tentunya, melihat kawah biru toska. Kami bertegur sapa, dan beramah tamah sekedarnya.

 Ijen, menyimpan sebongkah asa untuk para penambang belerangnya, menjadi saksi orang-  orang berlainan suku bangsa, tua muda, berbaur dengan alamnya, dan menjadi sebuah cerita berbingkai lukisan alam dari sang Pencipta. Hadiah dari langit yang tak bisa dinilai dengan angka. Rasa dari hati yang tak habis ribuan kata untuk menjelaskannya. Perjalanan ini bukanlah yang teristimewa, setiap perjalanan akan punya cerita berbeda, Ijen pun meninggalkan banyak rasa dan kisah.

Komentar

Postingan Populer