Jogjakarta, Cerita yang Tertnggal di Sana

16.35 waktu Jogjakarta, aku tiba di kota yang menyimpan banyak cerita.
Kurapikan barang bawaanku. Kugendong ransel di punggung dan tangan kanan menarik trolley bag ku. Tak terlalu banyak penumpang yang turun di stasiun kota ini, masih banyak yang tersisa di dalam gerbong kereta. Kereta ini akan membawa mereka sampai ke tujuan terakhir, Kutoarjo.

Ramai, itulah suasana yang tertangkap mata saat pertama kaki ini menjejak Jogjakarta. Penumpang kereta hilir mudik dengan membawa ragam tas berukuran besar - besar. Bulan kedua belas di penghujung tahun selalu menyisakan gempita di kota ini. Turis lokal dan mancanegara berbaur tumpah ruah di sepanjang jalanan kota. Entah kesenangan seperti apa yang mereka coba temukan.

Sore yang cerah, aktivitas warga terlihat bermacam jenisnya. Melintas beberapa becak berwarna merah menyala, menggembung di kedua sisinya dengan dudukan yang tinggi. Terlihat berbeda dengan becak di kota kita yang tampilan kedua sisinya ramping dengan dudukan yang lebih rendah dan leluasa.

Kau sering sekali berpergian dengan becak kala itu, ketika kau hendak mengunjungi rumah berpohon belimbing di halaman samping, sebuah rumah lama berlantai persegi kuning, dan berdinding batu tepat disebelah pintu. Rumah lama yang menyimpan banyak cerita. Rumah lama yang menjadi bagian kisah kita. Rumah lama yang mengemas semua potongan kenangan menjadi "Deja Vu" di dalamnya.

Belimbing di samping rumah berbuah lebih lebat dibandingkan dengan yang ada di tempat belajar kita. Nanti, jika kau pulang akan ku ambilkan belimbing terbaik untukmu. Aku rindu ingin makan belimbing bersama. Bergantian menggigit tiap ruas buahnya. Saat itu, di halaman belakang tempat belajar kita, bersama kita tengadahkan kepala ke atas pohon belimbing, mencari belimbing terbaik, tertawa lepas saat berhasil mendapat belimbing yang kita inginkan.
Pohon belimbing di rumah menitipkan salam dan bertanya kapan kau pulang ?.

Sambil mengayuh becak, bapak becak menceritakan apa saja tentang Jogjakarta. Aku menyimak dengan seksama sambil mengamati tiap sudut kota. Jalanan kota ini meninggalkan banyak cerita. Sore ini aku dibawa kembali untuk mengingat setiap jengkal jalinan kisahnya.

Becak merah mengantarku sampai di depan sebuah penginapan sederhana dengan rumah joglo di depannya, cukup nyaman untuk sebuah tempat peristirahatan. Tak ada yang istimewa di sini, aku lebih suka arsitektur tempat menginapku di kota sebelumnya. 

Petang hari, ku lanjutkan berjalan - jalan. Malioboro, kesanalah akan kulangkahkan kaki malam ini. Aku memilih untuk berjalan ke Malioboro, melewati keramaian "Festival Sekaten" di alun - alun selatan, sama dengan kota sebelumnya, Jogjakarta sedang memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW dengan kegiatan serupa. 

Ramai sekali malam itu, lalu lintas padat, hiruk pikuk manusia tumpah ruah. Tak tertarik aku untuk masuk ke sana, meski hanya melihat - lihat saja. 

Festival Sekaten ini tak berbeda dengan yang ada di Surakarta. Kaki ku terus melangkah menyusuri keramaian kota. Terdengar klakson mobil dan motor berbunyi bersahutan tak mau mengalah. Berimbang dengan lengkingan peluit juru parkir yang sibuk mengatur keluar masuk kendaraan. Sempurna !, berisik yang sempurna, hingar bingar Jogjakarta yang jelas berbeda dengan tahun - tahun sebelumnya. Telinga serasa peka, mata berkaca - kaca terkena ragam asap kendaraan, tak ada lagi romantisme Jogja malam itu. Hanya kendaraan yang menderu, langkah kaki terburu - buru, seruan klakson dan bunyi - bunyian dari pasar malam beradu jadi satu.

Pandangan mata ku tertuju pada jalur kanan jalanan tepat di deretan depan Pasar Beringharjo. Dengan cepat mata menyapu semua pedagang yang berderet disitu, terlihat penuh dimana - mana, semua sibuk. Penjual sibuk melayani pembelinya, pembelinya sibuk menikmati makanan yang tersaji dengan lahapnya. Perut ini sudah bernyanyi minta segera diisi. Segera ku dapati lapak penjual aneka macam makanan dengan konsep lesehan. Lapak itu menawarkan beragam jenis makanan mulai dari opor ayam, nasi rames, dan tentu saja gudeg Jogja. Perlu bagiku untuk memilih lapak yang menjual beragam pilihan menu, karena lapak - lapak lainnya hanya menjual gudeng Jogja. Aku kurang suka gudeg, manisnya tak bisa kuterima. 

Makan malam berlangsung singkat saja, tak ada yang istimewa. Suapan sendok pertama, datang amplop putih di depan mata, bertulisan entah apa, aku tak membaca. 


Singkatnya amplop itu meminta kita untuk meninggalkan sejumlah uang di dalamnya. Tak lama setelahnya dua orang waria bernyanyi alakadarnya kemudian mengedarkan kaleng untuk menampung rupiah. 

Perut sudah terisi, kaki pun siap melangkah lagi. Langit malam terlihat begitu muram tak nampak satupun bintang gemintang. Tak masalah meski tanpa sang bintang, malam ku harus berlanjut. Aku memasuki satu dua toko di sepanjang jalanan Malioboro melihat - lihat mungkin saja aku berminat untuk membelinya sebagai buah tangan.

Aku sudah membeli beberapa cinderamata yang akan kubawa pulang ke kota kita. 
Beberapa toko siap menutup rolling door nya, pukul sepuluh malam waktu Jogjakarta. Berbanding terbalik dengan para pedagang di sepanjang jalan Malioboro, belum satupun dari mereka terlihat berkemas menutup lapaknya. Jogjakarta belum sepenuhnya memulai tidur malamnya. Masih terlihat banyak manusia tumpah ruah, banyak dagangan masih tersisa menunggu pembelinya, terlihat sekelompok muda mudi tertawa bersama menghabiskan malam dengan canda. Jogjakarta yang penuh warna, Jogjakarta yang meninggalkan banyak cerita.

Sebelum tengah malam aku sudah kembali ke kamar sementaraku. Di perjalanan pulang tadi kembali ku susuri jalanan Malioboro melewati deretan halaman Benteng Vrederburg, ada yang berbeda disana. Tak kutemui deretan art work, patung - patung, dan rupa - rupa kreativitas lainnya, sepertinya sudah dipugar. Hanya menyisakan satu dua rupa kreativitas saja. 


Aku hanya melihat patung gajah bergrafiti dan kotak pos merah serupa dengan di negerinya Ratu Elizabeth saja. Ah.. sayang sekali semua sudah tak sama !

Tempat dan suasana bisa berubah tapi tidak dengan cerita - cerita yang tertinggal disana. Di bawah langit malam Jogjakarta kutinggalkan banyak cerita disana.

#episode kota Raja
@Jogjakarta, Desember 2014






Komentar

Postingan Populer