Pagi di Timur Kota (Kota Raja #3)

Jalanan masih lengang pagi itu, toko - toko yang kemarin siang terlihat sibuk, pagi ini masih tutup. Geliat aktivitas pagi masih belum terasa. Hanya terlihat beberapa orang sekitar berlari pagi, warung - warung kopi baru bersiap akan buka. 

5.30 waktu Surakarta, kota ini masih belum sepenuhnya bangun dari tidur malamnya. Denyutnya belum terasa. Jauh berbeda dengan kota kita, sepagi ini banyak yang sudah bergegas dengan segala aktivitas.

Aku menyusuri beberapa jalanan di pusat kota. Berjalan - jalan sambil mengamati aktivitas warga setempat. Tukang sapu terlihat membersihkan tepi - tepi jalanan, sambil sesekali bercakap dengan tukang sampah yang melintas, tukang sampah itu dengan senyum merekah menarik gerobak sampah berisi penuh sampah - sampah dari deretan pertokoan di tengah kota. Tak terlihat lelah di wajah mereka, melakukan segalanya dengan hati penuh adalah obat dari segalanya. Berbesar hati apapun yang terjadi. Tak pernah ada yang keliru dari ketentuan langit.

Pagi yang cerah, langit terlihat biru, sejuknya angin menyapa perlahan, cuaca bersahabat. Hei.. aku harus bergegas, tak bisa berlama - lama menikmati pagi di tengah kota. Ada tempat indah di sebelah timur kota ini. Tempat itu sudah menunggu kedatanganku.

Kendaraan yang aku tumpangi terus berjalan jauh meninggalkan pusat kota, berjalan ke arah timur. Jalanan kota berganti dengan jalan menanjak dengan banyak kelokan. 


Di kanan kiri jalan banyak terlihat sawah bersengkedan. Udara dingin mulai terasa. Aku sudah berada di ketinggian 1200 meter diatas permukaan laut. Indahnya pagi ini benar - benar tak bisa tertuliskan oleh kata. Pagi yang indah. Pagi yang selalu memberikan janji kehidupan baru. 

90 menit waktu yang aku butuhkan untuk berpindah dari pusat kota ke tempat di timur kota ini. Tawangmangu, itulah nama tempat indah ini. Setelah turun dari kendaraan, serbuan angin semilir pagi hari menyeruak menepa wajah, menyejukkan !. Beberapa kuda nampak berjajar menunggu, mungkin saja ada pengunjung yang ingin menungganginya. Aku tak berniat mencoba, aku harus berhitung dengan waktu. Salah sedikit saja hitunganku, semua akan berubah. Sore nanti sekembalinya aku dari sini, aku akan ke Jogjakarta.

Gemuruh aliran air pelan terdengar, bongkahan bebatuan besar terlihat kokoh bersebaran di sela - sela aliran air. Jernih, menyejukkan, itulah air pertama yang aku lihat di tempat itu, sebelum aku melihat gemuruh air yang sesungguhnya di dalam sana. Itulah aliran air dari air terjun "Grojogan Sewu".  

Semua mungkin berbeda dengan yang kau lihat, dengan yang kau rasa sebelumnya saat kau tiba di tempat yang sama denganku saat ini. Adalah waktu juga yang memainkan perannya dengan baik. Ah... tapi langit ku selalu berikan rencana terbaiknya, meskipun di waktu yang tak sama, aku akan berkesempatan merasakan "surga" di dalam sana.

Ribuan anak tangga berbatu harus kulalui, di kanan kiri sepanjang jalan nampak rimbun pepohonan berjajar rapat dan menjulang tinggi - tinggi. Rapat sekali menyerupai kanopi yang memayungi sepanjang perjalanan ini.

Sama halnya seperti kanopi dari rerimbunan pohon di dekat tempat belajar kita, meski di jalanan itu kanopi tidak menutupi di sepanjang jalan, setidaknya masih menyejukkan.

Sore itu, saat kita berjalan - jalan di jalanan dekat tempat belajar kita, aku pernah tunjukkan padamu "kanopi" itu. Seru sekali menghabiskan sore di sepanjang jalan itu. Berjalan kesana kemari, semaunya, sekehendak hati, seolah - olah jalan itu punya kita sendiri.

Gemuruh air semakin keras terdengar, aku semakin dekat dengan Grojogan Sewu. Sedikit lagi, setelah menuruni anak tangga dan menyebrangi jembatan bambu aku akan sampai kesana. 

Aku menengadahkan wajah, berdiri di tengah jembatan, menghadap tepat ke Grojogan Sewu. Percikan air Grojogan Sewu dingin membasahi kulit wajahku. Dingin dan segar menyeruak bersamaan. Dibawah garis langit yang sama aku berada disini, sama denganmu beberapa tahun lalu. Skenario yang selalu indah dan tak terbantahkan oleh kata.

Alas kaki ku lepaskan, biarkan sepatuku menunggu sebentar dulu. Ku berikan kesempatan kaki ini untuk merasakan jernihnya aliran air Grojogan Sewu. 

Percikan air dari ketinggian 81 meter, dinginnya aliran air, dan bongkahan bebatuan adalah perpaduan sempurna dari surga kecil di timur kota Surakarta. Semesta yang indah.

Tanjakan anak tangga berbatu harus kutempuh lagi untuk keluar dari tempat ini. Semakin tinggi jalan yang harus kulalui, sebelum akhirnya aku bertemu dengan beberapa ekor primata. Sungguh aku tak menduga banyak primata disini, kau tak pernah menceritakan hal ini padaku. Uugghhh..! Kaget, takut, seru, lucu, bercampur jadi satu. Kau tau primata itu mau roti keju kesukaanku. Untung saja mereka tidak melompat langsung ke arahku seperti yang dilakukan "Yellow" saat itu di mejaku. Benar - benar beberapa menit yang tak segera berlalu. Dengan sedikit tenaga tersisa aku bergegas meninggalkan primata - primata itu. Oh.. langitku.., beri sedikit keberuntungan untukku.!

Tak mau membuang waktu aku harus bergegas, cepat, menuju kendaraan yang akan membawaku kembali ke kota. Lewat tengah hari setelah melalui gerimis, aku harus tiba di stasiun utama kota ini, menanti kereta yang akan membawaku ke Jogjakarta, kota Raja berikutnya. 

Pagi di timur kota Surakarta dibawah garis langit yang sama walau waktu berbeda aku berada di tempat yang sama denganmu beberapa tahun lalu. Betapa langit sudah menuliskan banyak skenario untuk kita.

#episode kota Raja
@Tawangmangu, Desember 2014

Komentar

Postingan Populer